RASA RENDAH DIRI: BAGAIKAN KUCING BERMATA HIJAU (Joyce Landorf) – 4

Artikel Wanita April 25
  1. Tidak adanya harga diri merupakan syarat utama timbulnya depresi.

Ini hanya merupakan sebagian dari jawabannya. Sumber utama kekecewaan kita ialah tidak adanya penghargaan terhadap diri sendiri. Kita semua mengalami hal itu.

Saya melihat kekecewaan dalam diri orang-orang di mana pun. Rupanya ada berbagai macam tingkatan kekecewaan, dari keluhan  biasa, yaitu “Ah, kecelé!” sampai kepada orang yang benar-benar kecewa sehingga hampir bunuh diri. Kekecewaan itu timbul pada segala macam umur, dan pada suatu ketika, yang saya sendiri hampir tak dapat percaya, saya melihatnya pada seorang bayi. Saya pernah diminta memberikan ceramah dalam suatu pertemuan untuk tentara Amerika di luar negeri, dan setelah selesai saya diminta agar pergi ke belakang auditorium untuk sepasang suami isteri yang masih muda. Belum jauh saya berjalan, saya telah melihat sepasang suami isteri itu dengan wajah jelas memancarkan kesedihan hati, serta bayi mereka.

Suami isteri itu benar-benar sangat tertempelak mendengar pembicaraan saya berhubungan dengan pernikahan. Mereka mengalami faktor-faktor yang sama dengan faktor-faktor yang telah lazim menyebabkan pernikahan hancur berantakan dan telah melakukan dosa, kemarahan dan pemberontakan yang sama pula di dalam pernikahan mereka. Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian ketika saya mengatakan bagaimana Allah bekerja di dalam hidup kita dan kemudian di dalam pernikahan kita, tetapi mereka tidak mau memercayakan diri mereka kepada Tuhan. Mereka marah satu kepada yang lain dan kepada dunia pada umumnya, dan keduanya merasa sangat tertekan. Yang paling menusuk hati saya ialah kenyataan bahwa kekecewaan mereka itu paling jelas terpancar melalui wajah putera mereka yang baru berumur sepuluh bulan.

Ia duduk dengan tenang di pangkuan ayahnya, tetapi semua hal yang buruk serta ketidakpuasan orang tuanya terlihat dengan jelas pada wajah si kecil itu.

Karena mereka mengalami hal-hal yang hampir sama dengan cerita saya, suasana di antara kami agak menjadi tegang karena emosi. Untuk membuat suasana itu agak santai, saya mengulurkan tangan dan mengelus pipi bayi itu, dan berkata, “Hai, manis.” Tidak ada kegembiraan pada bayi itu dan wajahnya begitu sayu, sehingga menyedihkan hati saya. Untuk menghilangkan perasaan yang mengharukan saya itu, saya mencoba membuka percakapan. Dengan secerah mungkin saya berkata, “Siapakah nama anak ini?”

Tanpa mengangkat kepalanya yang tertunduk dan dengan nada suara yang rendah ayahnya menjawab, ”Namanya Boy.”

Saya kira bagi kami orang Amerika, nama itu hanya dipakai di film-film Tarzan. Jadi dengan heran saya bertanya,  ”Boy?” Saya tak percaya ada orang Amerika Yang menamai puteranya  ”Boy”

”Ya, Boy. Cuma Boy saja”  ayahnya mengulangi dengan perasaan kesal dan tidak sabar.

Saya bertanya-tanya, bagaimanakah akibat nama “Boy” itu kelak bila anak itu telah dewasa. Apakah ia akan menjadi pendiam dan manis sifatnya di sekolah? Apakah orang tua dan guru-gurunya akan mengenang dia sebagai seorang anak yang “baik”? Apakah mereka akan benar-benar terkejut bila kelak pada suatu saat depresi dan perasaan diri tak berharga yang terkandung di dalam diri anak itu berubah menjadi kemarahan dan ia berteriak-teriak agar diperhatikan, dengan melakukan tindakan kriminil yang menghebohkan? Saya tidak tahu.

Ketika saya menanyakan kepada Dr. Dobson, seorang ahli psikologi, tentang depresi dan perasaan rendah diri pada diri wanita, ia menjawab demikian:

Dalam suatu questionaire yang baru-baru ini saya adakan dengan pemudi-pemudi dan ibu-ibu Kristen, pada umumnya sumber depresi mereka jelas berasal dari ‘perasaan harga diri yang rendah’. Secara lebih luas lagi penilaian yang rendah dan menyakitkan itu menjadi kekuatan (dan kemarahan) yang mengobarkan Gerakan Emansipasi Wanita dan usaha-usaha lain untuk mengubah kedudukan wanita pada masa ini. Jikalau para wanita merasa benar-benar dihormati dalam kedudukan mereka sebagai isteri dan sebagai ibu, mereka tidak perlu lagi menambahnya dengan sesuatu yang lebih baik. Jikalau mereka merasa harga dirinya sama dengan harga diri kaum pria, mereka tidak perlu lagi menyamakan diri dengan kaum pria dalam hal tanggung jawab. Kalau mereka sudah merasa senang dengan martabat dan status yang diberikan kepada mereka oleh Sang Pencipta, maka kewanitaan mereka akan dihargai sebagai suatu milik yang paling berharga, bukan sebagai jubah tua yang harus dibuang. Dapat dipastikan bahwa masa depan suatu bangsa bergantung pada bagaimana penghargaan bangsa itu kepada kaum wanitanya. Saya harap kita akan mengajar anak-anak perempuan kita agar mereka bersukacita bahwa mereka dipilih oleh Allah untuk menikmati keistimewaan sebagai wanita. 

 

Bersambung….

Check Also

Artikel Wanita Ok 25

IMAN UNTUK MENANG

Kay tidak berencana menjadi pelatih hebat. Ia juga tidak berencana menjadi orang Kristen yang vokal. …