
Kurang dari satu minggu kemudian, dua laki-laki tersebut duduk bersama pelamar yang gugup itu. “Kamu memiliki apa yang dibutuhkan untuk menjadi seorang guru yang hebat,” Early meyakinkan Kay, “dan kamu mempunyai hal lain yang kami perlukan: kemampuan untuk melatih tim bola basket murid perempuan kami.”
Perempuan muda yang pemalu ini memerlukan beberapa saat untuk benar-benar memahami secara penuh apa yang baru saja dikatakan kepadanya. Early kemudian melanjutkan, “Saya ingat ketika Anda bermain untuk Gibsonville High. Rata-rata, Anda menyumbang 34 angka dalam satu pertandingan! Anda pemain sekolah menengah terbaik yang pernah saya lihat. Jika Anda mau melatih kami, posisi guru Bahasa Inggris ini jadi milik Anda. Hanya perlu waktu sekejap bagi Kay untuk melancarkan protes. “Tapi saya lulusan bahasa Inggris. Saya tidak tahu cara melatih. Saya bahkan tidak bermain bola basket di perguruan tinggi.”
Sembari tersenyum lebar, kepala sekolah meyakinkan Kay bahwa ia punya keyakinan terhadap kemampuannya, sekalipun Kay tidak memiliki kemampuan itu. “Kamu tau dasar-dasarnya dan kamu tahu bagaimana bisa menang. Itulah yang dibutuhkan murid-murid kami. Kamu adalah pemenang, Kay.”
Yow tidak setuju untuk melatih. Ia terlebih dahulu mengunjungi keluarga dan teman-temannya. Setiap orang yang diajaknya bicara mendesaknya untuk mengambil kesempatan itu. Namun, ia masih merasa keberatan. Akhirnya, bukan keyakinan dirinya, melainkan keyakinan orang lain terhadap kemampuannya lah yang membuat ia menandatangani kontrak. Beberapa bulan kemudian, setelah menghabiskan musim panas dan musim gugur dengan membaca banyak buku dan menemui banyak pelatih, Kay menyaksikan pemainnya, menembus langkah awal mereka di lantai papan. Ia menilai bahwa sebagian besar dari mereka menganggap latihan merupakan beban. Kay perlu membuat mereka menghapus rintangan mental itu agar mereka memahami bahwa untuk menjadi pemenang, mereka harus lebih dulu melakukan persiapan yang sungguh-sungguh dengan energi dan kegembiraan sebesar ketika mereka bertanding. Hal ini adalah rintangan pertama yang harus dihadapi nya dalam kariernya sebagai pelatih. Caranya menyelesaikan masalah tersebut menjadi filosofi yang akan dipegangnya pada tahun-tahun mendatang.
Pelatih Yow memanggil para pemainnya ke pinggir lapangan dengan peluitnya. Dengan suara tenang, tetapi tegas, ia berkata, “Masing-masing dari kalian harus menyadari betapa pentingnya setiap unsur latihan. Kalian harus melakukan yang terbaik setiap saat. Setiap tembakan yang kalian buat harus dilakukan dengan tepat. Keunggulan bukanlah hadiah; itu dicapai dengan persiapan dan kerja keras. Permainan kalian menunjukkan bagaimana kalian berlatih. Aku akan bekerja keras, dan jika masing-masing dari kalian melakukan hal yang sama, kita akan mencapai sesuatu yang dapat kita banggakan.”
Kay mengajak para siswa bekerja lebih keras sebagai upaya untuk mengilhami mereka agar memaknai setiap hari sebagai kesempatan terakhir mereka untuk membuktikan diri. Dengan begitu, Kay telah menetapkan standar yang akan mendulang sukses sejak pertandingan pertamanya, filosofi yang masih ia khotbahkan selama 43 tahun kemudian. Kesuksesan filosofi tersebut telah mendorongnya, sebagai pelatih sekolah menengah, menuju Basketball Hall of Fame.
Empat tahun setelah kemenangan…
bersambung….
GBI Pasir Koja 39 Bandung